Dengan maraknya pemberitaan baik di
media cetak, media elektronik maupun media online, demontrasi selalu menjadi
topik pembicaraan. Baik demontrasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan
upah minimum, penolakan tokoh tertentu dan demostrasi lainnya. Baik itu
dilakukan oleh mahasiswa, buruh, organisasi masyarakat dan pegawai negeri sipil
sekalipun.
Kebebasan
berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk
berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan
dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur
adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta
kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945
dan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum.
Ada banyak
kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam
hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan. Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan
politik praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok
atau demi kemaslahatan orang banyak.
Jika kita
kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi
oleh Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga
harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945
dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas
dalam aksinya. Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum
menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161
tentang penghasutan.
Maka dalam undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat diatur mengenai hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingim menyampaikan pendapatnnya dan bagi
pemerintah agar dapa memberikan perlindungan hukum kepada setiap masyarakat,
agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat.
Agar Para demonstran tidak mendapat sanksi hukum
dalam menyampaikan pendapat di muka umum, hendaknya mmengikuti tata cara
demonstrasi menurut undang-undnag Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum
Ø Tata Cara
1) Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Polri yang dilakukan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab
kelompok.
Catatan: Banyak orang memiliki pemahaman yang salah mengenai
pemberitahuan ini. Rencana menyatakan pendapat disampaikan dengan pemberitahuan
bukan izin. Sifatnya hanya memberitahukan saja dan Kepolisian tidak berwenang
menolak kecuali dalam hal dilarang dalam undang-undang. Hal yang sangat berbeda
jika rencana menyatakan pendapat diharuskan dengan izin karena kepolisian
menjadi berwenang untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan rencana menyatakan
pendapat tersebut.
2) Pemberitahuan diberikan selambat-lambatnya 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai.
3) Pemberitahuan memuat: maksud dan tujuan, tempat,
lokasi, dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggung jawab, nama dan
alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat peraga yang dipergunakan; dan
atau jumlah peserta.
4)
Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta
unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima)
orang penanggung jawab.
5)
Setelah menerima surat pemberitahuan, Polri wajib :
a.
segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b.
berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian
pendapat di muka umum;
c.
berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang
akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d.
mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
6)
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka
umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada
Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.
Ø Sanksi :
· Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi
terhadap pelanggaran tata cara di atas adalah pembubaran.
· Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau
peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan
melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikenakan jika misalkan terjadi
perbuatan melanggar hukum seperti penganiayaan, pengeroyokan, perusakan barang,
dan bahkan kematian.
· Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 Penanggung
jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per
tiga) dari pidana pokok. Terdapat pemberatan hukuman terhadap penanggungjawab
yang melakukan tindak pidana.
· Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara
untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam praktek,
kepolisian sering mengkriminalisasikan para pengunjuk rasa yang menolak
membubarkan diri ketika berunjuk rasa dengan beberapa pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
·
Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau
orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi
pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
·
Pasal 214 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan
212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Yang bersalah dikenakan:
a. pidana penjara paling lama delapan tahun enam
bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan
luka-luka;
b. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika
mengakibatkan luka berat;
c. pidana penjara paling lama lima helas tahun,
jika mengakibatkan orang mati.
·
Pasal 218
Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun
dengan se- ngaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas
nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
Adapun aparatur
yang berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran terhadap orang yang melakukan
penyampaian pendapat di muka umum yang tidak memenuhi syarat adalah Kepolisian
Republik Indonesia. Instansi lain, keamanan gedung, satpam, petugas keamanan
internal, maupun pihak lain tidak berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran.
Ø
Apakah Polisi
Memiliki Kewenangan Memukul Demonstran?
Dalam
pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat
menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah
memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni
dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab :
a.
melindungi hak asasi manusia;
b.
menghargai
asas legalitas;
c.
menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d.
menyelenggarakan pengamanan.
Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus
selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang
anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak
terlibat pelanggaran hukum (Pasal 23 ayat [1] UU 9/2008);
a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;
b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan
proporsional;
c. terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan
menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.
Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi
(tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).
Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang
kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal
24 UU 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari
terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku,
membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;
b. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c. tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang
bertanggung jawab sesuai tingkatannya;
d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar
HAM;
f. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;
Di samping itu,
ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan
Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Aturan
yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa
dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi
apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap
arogan dan terpancing perilaku massa. Protap
juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan
yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan
kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun
dilarang.
·
Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas
Hal-hal yang
dilarang dilakukan satuan dalmas:
1.
bersikap
arogan dan terpancing oleh perilaku massa
2.
melakukan
tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur
3.
membawa
peralatan di luar peralatan dalmas
4.
membawa
senjata tajam dan peluru tajam
5.
keluar
dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan
6.
mundur
membelakangi massa pengunjuk rasa
7.
mengucapkan
kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa
8.
melakukan
perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan
Di samping larangan,
Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban
menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga
diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan,
melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga
unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.
Jadi, pada
prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak
memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.
Pemukulan yang
dilakukan oleh aparat yang bertuga mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan
hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Terkait dengan hal
tersebut, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada
pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi.
Mengenai
tongkat yang dibawa oleh aparat, memang berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan
Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”)¸aparat
diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut,
tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air mata.
Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua)
cm dengan panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman
pada bagian belakang tongkat, aman digunakan
untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang.
Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah
3 (tiga) cm dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas
(lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010) .
Jadi,
memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi diperlengkapi
dengan dua macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang digunakan selama
pengamanan jalannya demonstrasi namun tidak membahayakan bagi demonstran.
Negara
Indonesia yang menganut paham demokrasi dimana setiap warga Negara berhak
mengemukakan pendapat seringkali disalahartikan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Ironisnya, para pelaku unjuk rasa anarkis dan brutal
seringkali berasal dari kalangan mahasiswa atau kaum intelek, yang notabene
tahu perihal peraturan perundang-undangan. Seharusnya, para kaum intelek ini
bisa menyatakan aspirasi dengan cara yang intelek pula. Tidak harus dengan
melakukan aksi unjuk rasa sambil membakar ban bekas di tengah jalan yang
kemudian menyebabkan kemacetan. Dan aparat keamanan tidak melalukan tindakan
kekerasan kepada demontran, karena itu jelas melanggar undang-undang Nomor 9
Tahun 1998.
terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2NkavPz
ReplyDelete